Inilah Faktor Penyebab Kepala Daerah Korupsi ??

Drs H Iklim Cahya, MM

Oleh : Drs H Iklim Cahya, MM (Wartawan /Praktisi Politik)

Begawan Indonesia.com – SETELAH Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri, sudah cukup  banyak pejabat publik yang ditangkap karena melakukan korupsi, diantaranya adalah Kepala Daerah.

Umumnya mereka terjaring dengan cara OTT (Operasi Tangkap Tangan), melalui sistem penyadapan pembicaraan telepon oleh petugas KPK.

Sumber “duit haram” tersebut, umumnya berasal dari fee proyek pembangunan fisik, tapi bisa juga bentuk sogok/suap dari sumber lainnya.

Mengapa ini bisa terjadi? Apakah hanya lemahnya faktor mentalitas dan moralitas semata? Atau karena faktor teknis dan non teknis lainnya? Ini menarik untuk dikupas.

POLITIK BIAYA TINGGI

Kupasan ini lebih focus pada korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, apakah gubernur, bupati, atau walikota. Sering pula memang korupsi oleh kepala daerah berimbas kepada wakil-wakil rakyat di DPR dan DPRD.

Kita tahu bahwa setelah reformasi politik dan demokrasi tahun 1998. Kebijakan yang ditempuh lebih mengedepan sistem demokrasi yang transparan. Dalam praktiknya terlihat seperti sistem demokrasi liberal, dengan mengedepankan pemilihan langsung oleh rakyat. Termasuk untuk pemilihan kepala daerah yang satu paket dengan wakil kepala daerah, dilakukan langsung oleh rakyat. Sistem ini mengganti pola lama yang memakai sistem perwakilan. Dalam pola lama yang dipakai di era Orde Baru, kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD.

Saat itu praktik politik yang terjadi di masa orde baru, di bawah tahun 1999, daerah provinsi, kabupaten, kota dibuat klasifikasi A dan B. Klasifikasi ini dilihat dari sisi stabilitas politik dan keamanan. Untuk kader dari ABRI minimal berpangkat Letkol untuk jabatan bupati/walikota, sedangkan untuk gubernur minimal berpangkat Brigjen senior, tapi umumnya berpangkat Mayjen (jenderal bintang dua). Sedangkan kalau sipil umumnya sudah pangkat/golongan IV, dan minimal menjabat/pernah menjabat Kepala Dinas, karena itu jarang sekali terdengar orang swasta yang menjadi kepala daerah. Kelebihannya calon2 tersebut sudah cukup matang pengalamannya di bidang pemerintahan.

Kala itu pemilihan oleh anggota DPRD juga terkesan formalitas belaka, karena sudah diarahkan oleh atasan. Apalagi DPRD saat itu dikuasai oleh Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI/TNI Polri, yang remotenya ada pada penguasa birokrasi.

Kemudian di era reformasi, Pilkada tahun 2005 ke bawah (1999-2004) juga masih dipilih DPRD. Nah  saat itu suasana pemilihannya lebih dinamis. Kalau di era orde baru lebih kuat arahan/perintah dari penguasa, pasca reformasi sebelum pilkada langsung tahun 2005, suap/sogok yang kental dirasakan. Kasarnya anggota dewan saat itu lebih banyak memilih karena faktor duit atau sogokan, dan akibatnya juga terjadi penekanan-penekanan secara premanisme. Karena tentu calon kepala daerah/wakil kepala daerah tidak mau dipermainkan, sehingga dia “menyewa” orang-orang untuk menekan anggota dewan supaya tidak berkhianat.

Kondisi inilah yang kemudian memicu dipakainya sistem pemilihan langsung oleh rakyat.

ERA PILKADA LANGSUNG

Mulai tahun 2005 sistem pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat yang memenuhi persyaratan. Sistem ini sebetulnya dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan pada sistem sebelumnya, dimana kepala daerah dipilih oleh anggota Dewan. Saat itu praktik suap/sogok kepada anggota dewan demikian nampak.

Sistem baru ini memang 100 persen menghilangkan permainan suap/sogok kepada anggota Dewan tersebut. Saat itu satu anggota dewan disinyalir bisa mendapat ratusan juta rupiah.

Namun dengan sistem Pilkada langsung, faktanya praktik suap/sogok bukan hilang, tapi hanya bergeser sasarannya. Praktik yang lebih akrab disebut money politic (politik uang) itu menyasar ke masyarakat pemilih. Ketika Pilkada langsung perdana tahun 2005, memang belum begitu terasa. Tapi saat pilkada-pilkada berikutnya pasca tahun 2005, praktik money politic itu sudah luar biasa. Memang kalau di lihat besaran politik uang itu tidak begitu tinggi, berkisar di angka Rp 50.000 – Rp 200.000. Besaran itu bergantung pada ketatnya persaingan antar calon, jumlah mata pilih dan kondisi setempat. Tapi mata pilih yang disasar cukup banyak, mencapai ratusan ribu orang. Itu baru biaya yang dikeluarkan untuk urusan money politic kepada mata pilih. 

Di luar biaya tersebut, calon masih harus “membeli” Parpol, yang sering disebut dengan istilah “uang mahar.” Untuk satu parpol besarannya bervariasi bergantung jumlah kursi Parpol tersebut di DPRD, semakin banyak kursinya semakin mahal. Biasanya untuk mendapat “tiket” menjadi calon, setidaknya harus didukung 20 persen kursi Parpol di parlemen daerah. Dalam praktik, santer disebut untuk satu kursi maharnya mencapai Rp 250 juta sampai Rp 500 juta. Itu juga masih dipengaruhi kekuatan riil parpol tersebut di lapangan, pengaruh tokoh di belakangnya, serta seberapa penting parpol tersebut bagi sang calon. Walaupun hanya satu kursi kalau posisinya sangat menentukan jadi atau tidaknya sang calon dalam pertarungan/kontestasi, maka harga satu kursi penentu itu bisa “selangit”. Memang pernah juga kita dengar ada Parpol yang mengharamkan “mahar”, tapi faktanya itu teori belaka. Sang ketua umum bisa saja tidak mau ada “mahar”, tapi petinggi Parpol di bawahnya yang  bermain.

Setelah parpol pengusung cukup, maka hal yang harus dilakukan oleh si calon adalah kampanye. Startnya umumnya sudah dimulai sebelum masa kampanye resmi dimulai, terutama bagi calon penantang. Sedang bagi calon incumbent (petahana) biasanya pola yang digunakan ibarat pribahasa sambil menyelam minum air. Minimal setahun sebelum masa cuti, incumbent sudah melakukan kampanye terselubung. Keuntungannya dana yang digunakan masih bisa menggunakan dana APBD.

Sedang bagi calon penantang, harus menggunakan kocek sendiri. Walau kocek tersebut bisa saja bersumber dari keuangan keluarga atau “sponsor”, mulai dari biaya sosialisasi tatap muka dengan masyarakat, maupun pemasangan dan pemberian alat-alat peraga seperti spanduk, baleho, kalender, kartu nama, dan souvenir.

Dengan demikian kalau kita hitung, sang kandidat kepala daerah, dalam berjuang untuk menjadi kepala daerah setidaknya harus mengeluarkan dana untuk “mahar” Parpol, untuk sosialisasi langsung dan tak langsung, operasional tim sukses, biaya masa kampanye resmi, dan biaya untuk money politic. Di tengah kuatnya persaingan, dan pragmatisme yang menggila di masyarakat, begitu besar biaya yang diperlukan sang kandidat. Dulu dalam suatu acara di stasiun televisi swasta, seorang pejabat Kemendagri, pernah mengungkapkan bahwa seorang calon kepala daerah untuk tingkat kabupaten/kota bisa menghabiskan dana sebesar Rp 30 M – Rp 50 M. Sedangkan untuk calon Kepala Daerah Provinsi besarnya biaya yang dihabiskan Rp 50 Milyar atau lebih.

Lalu dari mana uang tersebut di dapat? Bisa saja dari kantong pribadi/keluarga, atau dari “sponsor”, dan  dari manapun biaya tersebut didapat, tentu tidak  gratis. Bisa berupa modal yang harus dikembalikan, bisa hutang/pinjaman yang harus dibayar cash, tapi bisa juga berbentuk konsesi-konsesi lainnya, yang bisa saja merugikan daerah dan masyarakat.

PENGHASILAN KEPALA DAERAH

Hal ini juga menarik untuk dikupas, karena jarang diungkap secara terbuka. Bagi orang awam imaje yang berkembang, pastilah penghasilan seorang kepala daerah sangat besar. Logikanya, karena sang calon berani jor-joran mengeluarkan biaya saat kontestasi.

Padahal faktanya penghasilan kepala daerah, juga wakil kepala daerah tidaklah besar. Kalau komponen gaji pokok sangat tidak sesuai, paling banter gaji kepala daerah tidak lebih dari 20 juta/bulan. 

Diluar gaji memang masih ada penghasilan lain seperti dari tunjangan-tunjangan, honor-honor, insentif pajak/retribusi. Kemudian ditambah fasilitas berupa biaya perjalanan dinas, pakaian dinas, dan biaya rumah tangga. Menurut perkiraan kasar, rata-rata penghasilan resmi kepala daerah kabupaten/kota, paling banter sekitar Rp 250 juta/bulan. Itupun untuk perjalanan dinas, pakaian dinas, serta biaya rumah tangga tadi sipatnya lebih kepada fasilitas, artinya tidak bisa disebut penghasilan dalam bentuk uang.

Nah kalau perkiraan diatas benar, artinya selama satu tahun penghasilan kepala daerah sekitar Rp 3 Milyar. Lalu kalau lima tahun berarti sekitar Rp 15 Milyar. Kalau itu benar, artinya besar pasak dari pada tiang. Karena itu kalau beberapa waktu lalu beredar vidio seorang kepala daerah yang menyesal menjadi kepala daerah (bupati) adalah wajar. 

Sementara kalau kalkulasi dan hitungan-hitungan untuk kepala daerah provinsi, anggap saja double, artinya sekitar Rp 30 Milyar dalam 5 tahun.

Karena itu melihat gambaran kemungkinan penghasilan resmi yang telah dipaparkan di atas, wajar bila kepala daerah masih banyak mencari “lokak” lain. Dan “lokak” yang paling “ranum” apalagi kalau bukan fee proyek. Disini terjadi simbiosis mutualisme, kerjasama saling menguntungkan antara kepala daerah, kepala instansi teknis, pegawai yang membidangi, dan pemborong (pengusaha). Ini lumrah terjadi dan sudah menjadi rahasia umum.

Tinggal lagi sejauh mana konsistensi aparat hukum khususnya KPK dalam monitoring masalah ini. Kalau dilakukan secara konsisten dan objektif, maka mayoritas daerah harus bersiap menyambut kepala daerah yang baru, karena makin banyak yang kena OTT.

Lalu bagaimana dengan mentalitas atau moralitas pejabat yang bersangkutan? Menurut pandangan saya secara mental/moral banyak yang baik/bagus, tapi apakah mereka selama 5 atau 10 tahun tidak tergoda? Sementara penghasilan resmi tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan.

Karena itu menurut saya, sudah saatnya dilakukan evaluasi terhadap masalah Pilkada, bukan hanya mengenai sistem pelaksanaan, tapi juga menyangkut rekrutmen calon, dan sistem pengawasannya. Intinya bagaimana pelaksanaan Pilkada  tetap demokratis, namun tidak berbiaya tinggi. Sebab kalau masih berbiaya tinggi,  rawan untuk terjadi penyelewengan seperti fakta sekarang ini.

 Selain itu juga masalah sistem penggajian kepala daerah /wakil kepala daerah, perlu dievaluasi, dilihat juga modal perjuangan, lalu eksistensi mereka selama menjabat. Jangan kita seperti membiarkan mereka mencari “seseran”, lalu pada saat lengah atau ada kepentingan subjektif lain, mereka kemudian diciduk.***